Kajati Jatim Dr. Mia Amiati: Kenali dan jauhi “flexing”

Kajati Jatim Dr. Mia Amiati: Kenali dan jauhi “flexing”

SURABAYA, - Media sosial ibarat pisau bermata dua, di satu sisi membawa dampak kebaikan dapat menjalin silaturahim seperti mempertemukan sahabat yang sudah lama hilang kontak dan media sosial dapat dijadikan jendela ilmu membawa kebaikan karena dengan mudah dapat mengakses segala hal dapat memperluas cakrawala pengetahuan.
Dampak positif dari media sosial adalah memudahkan kita untuk berinteraksi dengan banyak orang, memperluas pergaulan, jarak dan waktu bukan lagi masalah, lebih mudah dalam mengekspresikan diri, penyebaran informasi dapat berlangsung secara cepat, biaya lebih murah.

Di sisi lain, media sosial dapat berpotensi buruk terhadap penggunanya. Kejahatan yang terjadi karena pengaruh media sosial, terkadang lebih kejam daripada realitas sosial umumnya. Seperti pencemaran nama baik, pelecehan melalui tulisan, pemalsuan identitas, bahkan pembunuhan, semuanya mudah terjadi melalui komunikasi di media sosial yang  semakin berkembang dengan kecanggihan teknologi.

Sisi buruk yang lain, ketika kita keliru  menggunakan dan memanfaatkan  media sosial, dapat menghancurkan kemampuan anak-anak maupun orang dewasa secara perlahan, karena kurangnya interaksi dan komunikasi dengan orang lain di dunia nyata. Sehingga tingkat perkembangan keterampilan dalam berbahasa semakin berkurang, dan membuat anak menjadi merasa tidak membutuhkan orang lain.

Situs media sosial membuat penggunanya menjadi lebih egois. Mereka akan menjadi tidak peduli dengan lingkungan di sekitarnya, karena terlalu asyik dengan media sosialnya. Akibatnya pengguna media sosial menjadi kurang berempati dengan dunia nyata, menghancurkan tatanan sosial, misalnya hancurnya rumah tangga, merusak akidah dan moral seseorang, terutama dari kalangan generasi muda.

Dampak negatif  lain dari media sosial adalah menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.

Indonesia dengan jumlah penduduk yang dapat dikategorikan banyak, dengan berbagai keragamannya, baik kultur, suku, ras dan agama yang beraneka ragam, memiliki banyak sekali potensi perubahan sosial. Dari berbagai kalangan dan usia hampir semua masyarakat Indonesia memiliki dan menggunakan media sosial sebagai salah satu sarana guna memperoleh dan menyampaikan informasi ke publik.

Perkembangan teknologi informasi membawa sebuah perubahan dalam masyarakat. Lahirnya media sosial menjadikan pola perilaku masyarakat pun mengalami pergeseran, baik budaya, etika dan norma yang sudah tertanam dalam semua segi kehidupan. banyak hal yang sifatnya negatif ketika sebagian besar masyarakat  menggunakan media sosial dengan tidak bijak.

Dampak negatif dari media sosial yang tumbuh di kalangan masyarakat saat ini antara lain menjauhkan orang-orang yang sudah dekat dan sebaliknya, interaksi secara tatap muka cenderung menurun, membuat orang-orang menjadi kecanduan terhadap internet, menimbulkan konflik, masalah privasi, rentan terhadap pengaruh buruk orang lain.

Saat ini, bentuk media sosial yang paling umum digunakan oleh masyarakat di seluruh dunia di mana para penggunanya bisa dengan mudah berpartisipasi, berbagi, dan menciptakan isi meliputi blog, jejaring sosial, wiki, forum dan dunia virtual.

Adanya media sosial  telah mempengaruhi kehidupan sosial dalam masyarakat. Perubahan-perubahan dalam hubungan sosial (social relationships) atau sebagai perubahan terhadap keseimbangan (equilibrium) hubungan sosial dan segala bentuk perubahan-perubahan   pada lembaga-lembaga kemasyarakatan di dalam suatu masyarakat, yang mempengaruhi sistem sosialnya,  termasuk  di dalamnya nilai-nilai, sikap dan pola perilaku di antara kelompok-kelompok dalam masyarakat.

Perubahan sosial positif seperti kemudahan memperoleh dan menyampaikan informasi, memperoleh keuntungan secara sosial dan ekonomi. Sedangkan, perubahan sosial cenderung negatif seperti munculnya kelompok-kelompok sosial mengatasnamakan agama, suku dan pola perilaku tertentu terkadang menyimpang dari norma-norma yang ada.

Dengan berbagai keragaman yang dimiliki oleh Bangsa Indonesia, kita ketahui bersama bahwa pada hakikatnya semua agama mengajarkan hal yang sama dalam hal kebaikan, begitu pula dalam hal penggunaan media sosial. Namun, ada sebagian orang yang menggunakan media sosial sebagai ajang pamer, baik itu memamerkan harta maupun memamerkan perbuatan, yang dikenal dengan istilah flexing.

Sejarah mencatat bahwa asal-usul istilah flexing muncul pada era tahun 1990-an. bermula dari bahasa gaul masyarakat kulit hitam untuk “menunjukkan keberanian” atau “pamer” dan pada tahun 1992, istilah flexing secara khusus juga digunakan oleh rapper Ice Cube melalui lagunya yang berjudul “It Was a Good Day”.

Di Indonesia, istilah flexing mulai mencuat di dunia maya, pascakemunculan fenomena baru tentang crazy rich yang ramai-ramai mengunggah kehidupan sosialnya yang cenderung suka pamer harta kekayaan.

Menurut kamus Merriam Webster, kata flexing berasal dari flex yang bermakna menunjukkan atau mendemonstrasikan. Sebelum populer di media sosial, istilah ini sering orang gunakan dalam dunia ekonomi menggambarkan perilaku memamerkan kekayaan dengan tujuan tertentu, misalnya pemasaran atau investasi.

Melalui media sosial, fenomena flexing muncul dari sekelompok orang yang terdorong untuk tampil dan mendapat pengakuan dan fenomena flexing semakin marak sejak jumlah kelompok orang-orang yang menamakan dirinya superkaya (crazy rich) semakin bertambah. Pada umumnya mereka memamerkan barang-barang mahal dan para crazy rich ini mencoba terus eksis melalui media sosialnya masing-masing.

Selain memamerkan kekayaannya, tindakan flexing juga memamerkan perbuatan, contohnya; berfoto saat akan melaksanakan sholat, mengaji atau bersedekah, lalu diposting ke media sosial. Dalam Islam perbuatan memamerkan ibadah dapat disebut riya’ sedangkan memamerkan harta dapat dikatakan sombong.

Allah tidak menyukai kedua hal itu, sebagaimana disebut dalam Al-Qur’an Surat Al Baqarah ayat 24, yang artinya “Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu menghilangkan (pahala) sedekahmu dengan menyebut-nyebutnya dan menyakiti (perasaan si penerima), seperti orang yang menafkahkan hartanya karena riya’ kepada manusia dan tidak beriman kepada Allah dan hari kemudian. Maka perumpamaan orang itu seperti batu licin yang di atasnya ada tanah, kemudian batu itu ditimpa hujan lebat, lalu menjadikan ia bersih (tidak bertanah). Mereka tidak menguasai sesuatu pun dari apa yang mereka usahakan”.

Tindakan flexing biasanya tidak lepas dari upaya untuk memamerkan harta di media sosial yang dilakukan dengan berbagai cara, antara lain melalui foto atau video. Tindakan tersebut bisa berupa memamerkan saldo rekening dan barang mewah misalnya perhiasan, rumah, kendaraan dan barang-barang elektronik.

Tujuan pamer antara lain agar dianggap hebat dan memiliki kedudukan lebih sehingga dihormati. Namun, orang-orang yang melakukan tindakan flexing tidak memahami  bahwa tujuan bermedia sosial adalah terhubung dengan banyak orang bukan untuk pamer.

Dalam pandangan Islam, harta bukanlah menjadi tujuan esensial dalam hidup manusia, tetapi hanya sebagai sarana untuk mencapai tujuan hidup dan ridha Allah ataupun untuk kebaikan pribadi dan masyarakat banyak.

Dengan demikian sudah jelas bahwa harta dalam pandangan Islam adalah sebagai sarana mencapai kebaikan dan perhiasan hidup serta sendi kesejahteraan dan kemaslahatan hidup manusia, sebagaimana disebutkan di dalam  Surat Al-Kahfi ayat 46 yang artinya: “Harta dan anak-anak adalah perhiasan kehidupan dunia tetapi amalan-amalan yang kekal lagi saleh adalah lebih baik pahalanya di sisi Tuhanmu serta lebih baik untuk menjadi harapan.” (Qs. Al - Kahfi: 46).

Dalam pandangan Islam, Allah adalah penguasa mutlak dari harta yang kita miliki, di mana harta tersebut dititipkan Allah kepada manusia agar dapat dimiliki, dimanfaatkan dan dijaga dengan baik. Tidak ada larangan untuk menjadi kaya bahkan menjadi super kaya karena bila tidak memiliki harta kekayaan cukup, maka seseorang tidak akan dapat membiayai hidupnya.

Harta kekayaan yang kita miliki juga  dapat dimanfaatkan untuk meringankan beban orang lain dengan cara bersedekah kepada orang yang memerlukan bantuan. Dengan demikian pandangan Islam mengajarkan bahwa meskipun memiliki harta banyak, namun secara etika tetaplah selalu rendah hati dan membumi, karena harta kekayaan tersebut  hanyalah titipan bukan untuk dipamerkan.

Islam sebagai agama yang mengajarkan akhlak luhur dan mulia amat melarang umatnya untuk mendekati akhlak tercela, termasuk riya’, termasuk di dalamnya memamerkan harta. Disadari atau tidak, sikap riya’ termasuk perbuatan syirik kecil yang dosanya amat besar.

Allah berfirman yang artinya: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS Luqman:18)

Apalagi jika sikap pamer ini diikuti dengan anggapan dirinya lebih mulia dari orang lain sehingga cenderung meremehkan, menghina, serta merendahkan orang lain baik dengan perbuatan maupun dengan perkataannya.

Begitu pula halnya dengan nilai-nilai kebaikan yang dianut di dalam Al Kitab yang berkaitan dengan penggunaan media sosial, Belakangan ini penggunaan media sosial yang menjadi ajang pamer menjadi isu penting oleh sebagian kalangan.

Masyarakat mulai mengenal istilah baru: “fleksing” (flexing). Sederhananya, fleksing berarti pamer. Orang yang gemar fleksing biasanya mempertontonkan barang mewah, isi saldo di rekeningnya, uang bertumpuk-tumpuk, pakaian mahal, makanan kelas bintang lima, jet pribadi, liburan ke luar negeri, tas mewah, mobil mewah, dan sederet barang mahal lainnya. Fleksing juga tidak melulu soal kekayaan dan harta, tetapi juga prestasi, pencapaian, keberhasilan, bahkan saat melaksanakan ibadah atau kebaktian dalam komunitasnya.

Walaupun tidak secara langsung, tetapi Alkitab memiliki beberapa referensi tentang penggunaan pengertian flexing, di mana pamer menjadi salah satu bentuk pelarian dari kegundahan dan kekosongan jiwa seseorang. Memiliki hasrat agar eksistensi dan kesetaraannya diakui di antara orang lain tentu wajar, tetapi akan menjadi masalah jika hasrat tersebut tidak terkendali hingga mendorong seseorang menghalalkan segala cara untuk mendapatkan pengakuan itu.

Jika tidak dikendalikan dengan bijak, maka dorongan jiwa semacam ini akan membuat orang terjebak pada dosa kesombongan.

Kata “sombong” tentu tidak asing bagi setiap umat Nasrani, bahkan kata  “sombong”, “angkuh”, “tinggi hati” dan “congkak” disebutkan lebih dari 200 kali di dalam Alkitab. Hampir dalam setiap penyebutannya, kata tersebut mengacu kepada perilaku atau sikap yang dibenci oleh Tuhan. Alkitab memberi tahu kita bahwa orang yang sombong adalah kekejian bagi Dia. “Setiap orang yang tinggi hati adalah kekejian bagi TUHAN; Sungguh, ia tidak akan luput dari hukuman” (Amsal 16:5).

Dari sudut pandang agama apapun, tindakan  flexing atau pamer harta adalah merupakan suatu  kesombongan. Pada hakikatnya, sikap  sombong, congkak dan cenderung takabur, timbul dari hati yang bermasalah, yaitu ingin diperhatikan dan memerlukan pujian untuk menutupi perasaan rendah dirinya. Kebiasaan pamer pada dasarnya menunjukkan ketidakmampuan mereka untuk memahami hubungan sosial dalam perspektif yang benar.

Dalam memanfaatkan teknologi untuk menyampaikan informasi, seseorang dituntut memiliki pengetahuan dan kemampuan etis. Ada beberapa tuntunan dalam penggunaan media sosial sebagai referensi untuk mencegah seseorang dari ucapan, pendengaran, penglihatan, hati, serta tindakan-tindakan yang mengarah kepada kemungkaran dan kemaksiatan.

Beberapa contoh perbuatan mungkar seperti ghibah, pamer, sombong, fitnah, dan bohong/hoax. Bila ingin menjadi orang yang baik maka harus beretika, yang dalam bahasa agama disebut berakhlak. Akhlak mengatur dimensi-dimensi kehidupan sehari-hari sebagaimana konsep etika.

Etika berbicara tentang baik dan buruk yang berdasarkan pada  adab yang baik dan kita harus memiliki  cara untuk menyikapi flexing , antara lain:

1) Tidak perlu merasa iri dengan seseorang yang suka pamer kekayaannya, ketahui bahwa setiap orang memiliki waktu untuk sukses atau mendapatkan pencapaian.
2) Lakukan filter media sosial, sorot konten yang bermanfaat dan hanya akan membuat hidup kita tenang dan bahagia tentunya.
3) Jika mulai terganggu dengan perilaku orang-orang yang suka flexing jangan ragu untuk membuat sebuah batasan dengan cara mengurangi jumlah waktu berselancar di media sosial.
4) Kerjakan hal yang memang kita kuasai, jangan tergerus tren dengan terjebak pada investasi diiming-imingi keuntungan tinggi dari konten-konten flexing.
5) Fokus pada apa yang ingin kita kerjakan dan ingin dicapai, bukan pada pencapaian adanya pujian orang lain.
6) Tanamkan dalam pikiran bahwa pencapaian yang bisa kita raih bukan semata-mata karena validasi orang lain.

Di lingkungan Kejaksaan, selain ada Kode Etik Jaksa yang harus dipatuhi dan dipedomani oleh setiap Jaksa dalam melaksanakan tugas dan tanggung jawabnya.

Terkait dengan  masalah flexing yang semakin sering bermunculan di media sosial yang setidak-tidaknya dapat mencederai hati masyarakat yang berada dalam taraf hidup yang cenderung jauh dari kata sejahtera, Jaksa Agung RI telah menerbitkan Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana (INSJA NOMOR 2 TAHUN 2020) sebagai tindak lanjut dari arahan Presiden RI yang  menginstruksikan kepada seluruh Menteri dan Kepala Lembaga untuk mendisiplinkan aparat di bawahnya dan memberitahukan hal-hal yang boleh maupun tidak dapat dilakukan dan menjaga gaya hidup mereka agar tidak bermewah-mewahan.

Presiden RI mengatakan gaya hidup mewah itu harus “direm” demi tidak menimbulkan kecemburuan sosial di tengah masyarakat yang sedang susah akibat krisis.

Jaksa Agung RI menerbitkan INSJA NOMOR 2 TAHUN 2020 dalam rangka membangun dan membudayakan pola hidup sederhana bagi seluruh pegawai Kejaksaan sebagai salah satu cara mencegah terjadinya perilaku koruptif dan perbuatan tercela lainnya, sekaligus menjadikan setiap pegawai Kejaksaan menjadi contoh teladan bagi keluarga dan lingkungannya, di mana di dalam INSJA NOMOR 2 TAHUN 2020 tersebut, Jaksa Agung RI menginstruksikan agar seluruh insan Adhyaksa untuk menghindari gaya hidup konsumtif dengan tidak membeli/memakai/memamerkan barang-barang mewah, serta menghindari timbulnya kesenjangan dan kecemburuan sosial dengan tidak mengunggah foto/video pada media sosial yang mempertontonkan gaya hidup berlebihan yang dikenal dengan istilah flexing.

Dengan membudayakan pola hidup sederhana, dapat menjadi sarana  pengendalian dan introspeksi diri bagi setiap  Insan Adhyaksa agar tidak melakukan penyalahgunaan kewenangan terlebih lagi perbuatan melawan hukum yang dapat merugikan masyarakat karena pada hakikatnya pekerjaan seorang Jaksa adalah suatu bentuk pengabdian yang kelak nantinya terukir dalam perjalanan karir dan menjadi suatu kebanggaan ketika dapat melaluinya tanpa pernah ada perbuatan tercela.

Dalam melaksanakan pekerjaannya, pola hidup sederhana penting sekali dilakukan oleh seorang Jaksa karena melalui pola hidup sederhana. Jaksa akan menghasilkan profesionalisme dan integritas dalam bekerja seperti disiplin waktu, tanggung jawab, taat aturan, inisiatif, dan kreativitas sehingga nantinya sosok Jaksa  dapat menjadi panutan dan semakin dekat dengan masyarakat karena sikap sederhana Insan Adhyaksa dengan sendirinya akan menjadi kunci pengendalian diri dan dapat membangun integritas sebagai seorang penegak hukum.

Selain pola hidup sederhana, di dalam INSJA NOMOR 2 TAHUN 2020 tersebut, Jaksa Agung juga menginstruksikan kepada seluruh insan Adhyaksa untuk berhati-hati mengunggah sesuatu di akun media sosial, serta bijaksana dalam penggunaan media sosial  dan dihimbau untuk menggunakan media sosial yang berdaya guna dengan memperhatikan etika, adab dan sopan santun.

Adapun poin penting yang harus dipedomani oleh seluruh insan Adhyaksa yang tertuang di dalam INSJA NOMOR 2 TAHUN 2020, pada intinya adalah sebagai berikut :

Pertama: Menghindari gaya hidup konsumtif dengan tidak membeli/ memakai/memamerkan barang-barang mewah.
Kedua: Menghindari timbulnya kesenjangan dan kecemburuan sosial dengan tidak mengunggah foto/video pada media sosial yang mempertontonkan gaya hidup berlebihan.
Ketiga: Menyesuaikan dan menyelaraskan setiap perilaku berdasarkan norma hukum dan adat istiadat masyarakat setempat.
Keempat : Menggunakan pakaian dinas dan atribut kejaksaan sesuai dengan Peraturan Kejaksaan tentang Pakaian Dinas Pegawai Kejaksaan Republik Indonesia.
Kelima : Menyelenggarakan peringatan Hari Bhakti Adhyaksa secara sederhana tanpa mengurangi makna dan kekhidmatannya.
Keenam : Menyelenggarakan acara atau perayaan yang sifatnya pribadi dengan sederhana dan tidak berlebihan.
Ketujuh: Membatasi perjalanan ke luar negeri baik dalam rangka tugas kedinasan maupun di luar tugas kedinasan.
Kedelapan: Memberikan pelayanan sewajarnya dan tidak berlebihan kepada pejabat di lingkungan Kejaksaan yang berkunjung ke daerah baik dalam tugas rutin maupun tugas khusus lainnya.
Kesembilan: Menggunakan fasilitas dinas hanya untuk menunjang pelaksanaan tugas pokok dan fungsi.
Kesepuluh: Menolak menerima hadiah /keuntungan atau memberikan sesuatu yang diketahui atau patut diketahui berhubungan langsung maupun tidak langsung dengan jabatan dan/atau pekerjaannya.
Kesebelas: Menghindari tempat tertentu yang dapat mencemarkan kehormatan dan/atau merendahkan martabat institusi antara lain lokasi perjudian, diskotik, klub malam, atau tempat lain yang serupa.

Memaknai kembali kata kunci kesederhanaan, mengajarkan kepada kita untuk selalu hidup bersyukur atas kenikmatan yang diperoleh setiap harinya. Sederhana adalah sikap yang mampu mencegah dari perilaku boros, tamak, dan rakus sehingga perilaku sederhana adalah kunci pengendalian diri untuk membangun integritas diri dan Institusi.

REFERENSI

Instruksi Jaksa Agung Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2020 tentang Penerapan Pola Hidup Sederhana;
AL Quran dan Tafsir;
Santapan Rohani Our Daily Bread, Dhimas Anugrah, Antara Aku, Flexing dan Kesombongan

Baudrillard, Jean (1985). Simulacra and Simulations. London: Sage
Publications Ltd., Galilee & University of Michigan;

Nisa Maulana Sofa (2023), Tren Flexing di Media Sosial: Apa Itu, Penyebab, dan Cara Menyikapinya

Surabaya, 25 Januari 2024

Penulis : Kepala Kejaksaan Tinggi Jawa Timur

Pewarta: Dr. Mia Amiati, SH, MH, CMA 

surabaya
Achmad Sarjono

Achmad Sarjono

Artikel Sebelumnya

Kasiter Korem 083/Bdj Hadiri Aeroseeding...

Artikel Berikutnya

Kurangi Dampak Pemanasan Global, Babinsa...

Berita terkait

Rekomendasi berita

Nagari TV, TVnya Nagari!
Mengenal Lebih Dekat Koperasi
Lulus S3 1,5 Tahun: Siapa Bilang Pendidikan Harus Lambat?
Hendri Kampai: Kelulusan Bahlil adalah Inspirasi Suatu Pencapaian
Didi Sungkono, S.H., M.H.: Pelaku Arogan Suruh Anak SMA Sujud dan Menggonggong Tidak Beradab

Tags